Senin, 11 Januari 2016

Parangkap Kemiskinan



Zona yang Bisa Menyeret pada Ketidakberdayaan

Ada situasi yang sering memperangkap orang dalam keputus asaan, ketidak berdayaan mengikat langkah dan gerak seolah membelenggu setiap sendi tubuh. Lelah melihat keadaan, seolah menutup setiap celah semburat sinar di dunia luar. 

Hiruk pikuk dan gemerlapnya kehidupan hanya menjadi sebuah tontonan yang mengagumkan, decakan keriangan yang membangkitkan kehausan yang semakin menyiksa tenggorokan. Luapan air liur membangkitkan syaraf dan nafsu penuh harap yang entah kapan dan dengan cara apa keinginannya bisa terlaksana.

Kira-kira situasi itulah yang bisa saya gambarkan, mewakili keadaan masyarakat mayoritas negeri ini. Masyarakat yang tertinggal oleh perubahan jaman dan roda kehidupan, mereka menyesaki sudut-sudut kumuh di lorong gang, mendiami wilyah-wilayah yang terlupakan pembangunan.

Aktivitas yang paling memonumental bagi mereka, kemampuan mengomentari tayangan sinetron yang ia tonton sebagi pengisi waktu rutinnya. Berkumpul dimulut gang atau menggosip bersama tetangga merupakan sebuah pilihan terbaik sebagai kesempatan menghirup udara bebas dan bersosialisasi. Keterbatasan ruang di rumah kontrakan yang ia tempati memaksa untuk berbagi dengan area jalan atau emper bangunan tempat cucuran air hujan.

Sayang, kemahiran mereka menghapal pemeran sinetron, menirukan ucapan dan memperagakan setiap gerakan pemain-pemain sinetron tidak ada yang melombakan. Lorong-lorong gang itu menjadi sebuah arena pertunjukan tak berbayar, yang melatih kemahirannya. Gemuruh tawa yang bersahutan seolah sudah cukup menghibur atas semua keadaan yang mereka alami. Tawa sebagai sebuah apresiasi bercampur dengan cemoohan dan jokey-jokey membuat rona-rona seolah kelokan jalan dikaki perbukitan. Perdebatan, percekcokan dan mulut bersungut-sungut merupakan kejadian yang akan berulang layaknya putaran roda, tetapi kembali lagi ia ulang seperti biasa.

Lorong-lorong gang akan sepi manakala ada tayangan sinetron di stasiun tv swasta, dan kembali menjadi ramai setelah tayangan selesai, Merumpi, memperdebatakan jalan cerita dan menduga arah cerita seolah menjadi topik terhangat yang perlu diperbincangkan.

Kenapa mereka terperangkap dalam situasi tersebut dan secara berulang?
Hal terbaik yang bisa dilakukan agar rantai kejam membelenggu itu bisa terpotong?

Minimnya pendidikan yang dilakukan komunitas dan elemen masyarakat tidak cukup memberikan pencerahan dan bekal bagi masyarakat untuk memenangkan perlombaan kehidupan. Mereka bersaing dengan keperkasaan masalah yang terus melaju dengan cepat, tidak menyisakan strata dan status sosial, melibas dan memenuhi ruang-ruang kehidupan. 

Masyarakat seolah tenggelam terbawa banjir masalah, dia berpikir pragmatis untuk hanya sekedar bisa tertawa, tak peduli apa yang ditertawakannya apakah kebahagiaan hakiki dirinya atau hanya sekedar ikut numpang tertawa atas kebahagian orang lain atau mentertawakan penderitaan orang lain.

Akitivias yang dilakukan tidak lagi diukur oleh parameter apakah aktivitas itu penting dan harus segera dilakukan? Apakah aktivitas itu akan berdampak pada perubahan, perbaikan masa depan kehidupannya?

Tokoh sosial, tokoh agama, pemerintah rupanya juga tidak berdaya menghadapi semuanya. Bingung darimana harus memulai, seolah benang kusut yang tidak pernah ketemu ujungnya. Mungkin sebahagian dari mereka melakukan dan mengalami hal yang sama.


Bandung, 12 Januari 2016



Aos Firdausil Malisi











    Choose :
  • OR
  • To comment
Tidak ada komentar:
Write komentar